Posted by : Slamet Jumat, 22 April 2016

MAKALAH USHUL FIQH
SYAR'U MAN QOBLANA


DOSEN PENGAMPU :
Drs. H. HASANUDDIN, M.HI

DISUSUN OLEH KELOMPOK III
Ø  SLAMET SUBAGJA
Ø  BUDIMAN
Ø  SARI NAYUWATI


JURUSAN : PENDIDIKAN GURU MADRASAH IBTIDAIYAH

FAKULTAS :  ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN



INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
SULTHAN THAHA SAIFUDDIN
JAMBI

PENDAHULUAN
A.    Latar belakang
Ulama fiqh terdahulu membingkai sejumlah hukum yang telah dipertimbangkan atas dasar kebiasaan yang berlaku di tengah-tengah masyarakat pada zamannya. Beberapa dari hukum-hukum itu diganti oleh ulama fiqh belakangan, ketika mereka menemukan bahwa kebiasaan yang mereka dasarkan atasnya tidak ada lagi.
Sumber dan dalil hukum Islam dikelompokkan menjadi dua yaitu yang disepakati dan yang masih dipeselisihkan oleh para ulama yaitu salah satunya adalah Syar’u man qablana. Nabi Muhammad SAW adalah nabiyullah yang terjaga dari dosa baik sebelum beliau diutus menjadi rosul ataupun belum. Nabi Muhammad membawa pesan Allah yang mengenai dua hal, yaitu tentang apa-apa yang harus diimani (diyakini) dan apa-apa yang harus diamalkan. Beliau juga terpelihara dari sifat jahiliyah yang menjadi budaya dalam keseharian kaum arab. Fakta ini menimbulkan berbagai macam pertanyaan yang berkecamuk dalam diri kaum muslim saat ini. Bila beliau adalah insan yang taat beribadah, hamba Allah yang mulia maka siapakah yang ia teladani dalam hal ini? Siapakah atau syari’at apa yang menjadi pedoman dalam keseharian beliau sebelum beliau diutus menjadi Rasulullah SAW? Lantas apakah syariat-syariat tersebut harus kita jalankan? Padahal kita umat muslim telah memiliki syariat sendiri yang disebarkan oleh ajaran Rasulullah SAW yaitu syariat Islam.
B.     Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam makalah ini :
1.      Apa yang di maksud dengan syar’u man qablana?
2.      Apa saja  Dasar hukum syar’u man qablana
3.      Bagaimana Pembagian Syar’u man qablana?









PEMBAHASAN
1.      PENGERTIAN SYAR’U MAN QABLANA
Syar’u Man Qablana adalah syariat atau ajaran-ajaran para nabi sebelum diutusnya Rasulullah SAW.
Syariat-syariat mereka secara prinsipil adalah satu.
Para ulama menjelaskan bahwa syari’at sebelum kita atau syar’un man qablana ialah hukum-hukum yang telah disyari’atkan untuk umat sebelum Islam yang dibawa oleh para Nabi dan Rasul terdahulu dan menjadi beban hukum untuk diikuti oleh umat sebelum adanya syari’at Nabi Muhammad saw. sejauh yang dapat dibaca dalam al-Quran atau dinukilkan oleh Nabi Muhammad saw., karena memang al-Quran dan hadits Nabi banyak berbicara tentang syari’at terdahulu.
Al-Qur’an dan sunah sahih itu telah mengisahkan tentang salah satu dari hukum syar’i, yang disyari’atkan Allah kepada umat yang telah dahulu dari kita. Ada hal-hal dan nash-nash yang disampaikan kepada Nabi SAW juga oleh Tuhan sampaikan kepada umat-umat dahulu kala. Ada hal-hal yang tidak berbeda menurut apa yang telah disyari’atkan kepada kita berupa peraturan-peraturan yang wajib kita ikuti. Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an;
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ . (البقرة 183)
hai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa” (Q.S. Al-Baqarah 183)
            Al-Qur’an dan sunah telah mengisahkan salah satu diantara hukum ini Dalil Syar’i, ditegakkan untuk mencabut dan membuangnya.
2.      PENDAPAT PARA ULAMA TENTANG SYARI’AT SEBELUM KITA
Telah diterangkan di atas bahwa syari’at terdahulu yang jelas dalilnya, baik berupa penetapan ataupun penghapusan telah disepakati para ulama. Namun yang diperselisihkan adalah apabila pada syari’at terdahulu tidak terdapat dalil yang menunjukkan bahwa hal itu diwajibkan pada Umat Nabi Muhammad saw. sebagaimana diwajibkan pada mereka. Dengan kata lain, apakah dalil tersebut sudah dihapus atau dihilangkan untuk umat Nabi Muhammad saw. Firman Allah SWT dalam Al-Qur’an :
مِنْ أَجْلِ ذَٰلِكَ كَتَبْنَا عَلَىٰ بَنِي إِسْرَائِيلَ أَنَّهُ مَنْ قَتَلَ نَفْسًا بِغَيْرِ نَفْسٍ أَوْ فَسَادٍ فِي الْأَرْضِ فَكَأَنَّمَا قَتَلَ النَّاسَ جَمِيعًا وَمَنْ أَحْيَاهَا فَكَأَنَّمَا أَحْيَا النَّاسَ جَمِيعًا ۚ وَلَقَدْ جَاءَتْهُمْ رُسُلُنَا بِالْبَيِّنَاتِ ثُمَّ إِنَّ كَثِيرًا مِنْهُمْ بَعْدَ ذَٰلِكَ فِي الْأَرْضِ لَمُسْرِفُونَ (المائدة 32)
Artinya, “Oleh Karena itu kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa: barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan Karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan dimuka bumi, Maka seakanakan dia Telah membunuh manusia seluruhnya. dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, Maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. dan Sesungguhnya Telah datang kepada mereka rasul-rasul kami dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas, Kemudian banyak diantara mereka sesudah itu; sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat kerusakan dimuka bumi”.(QS. Al maidah 32)
Jumhur Ulama Hanafiyah, sebagian ulama Malikiyah, dan Syafi’iyah berpendapat bahwa hukum tersebut disyari’atkan juga pada umat Nabi Muhammad saw. dan umat Nabi Muhamamd SAW. berkewajiban mengikuti dan menerapkannya dalam hukumtersebut telah diceritakan kepada umat Nabi Muhammad saw. serta tidak terdapat hukum yang menasakhnya. Alasan mereka menganggap bahwa hal itu termasuk di antara hukum-hukum Tuhan yang telah disyari’atkan melalui para rasul-Nya dan diceritakan kepada umatnya. Orang-orang mukallaf wajib mengikutinya. Lebih jauh, ulama Hanafiyah mengambil dalil bahwa yang dinamakan pembunuhan itu adalah umum dan tidak memandang apakah yang dibunuh itu muslim atau kafir dzimmi, laki-laki ataupun perempuan, berdasarkan kemutlakan firman Allah SWT.
Sebagian ulama mengatakan bahwa syari’at itu menasakhkan atau menghapus syari’at terdahulu, kecuali apabila dalam syari’at terdapat sesuatu yang menetapkannya. Namun, pendapat yang benar adalah pendapat pertama karena syari’at kita hanya menasakh syari’at terdahulu yang bertentangan dengan syari’at kita saja.
3.      KEDUDUKAN SYAR’UN MAN QABLANA
Sesungguhnya syariat samawi pada asalnya adalah satu, sesuai firman Allah :
شَرَعَ لَكُمْ مِنَ الدِّينِ مَا وَصَّىٰ بِهِ نُوحًا وَالَّذِي أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ وَمَا وَصَّيْنَا بِهِ إِبْرَاهِيمَ وَمُوسَىٰ وَعِيسَىٰ ۖ أَنْ أَقِيمُوا الدِّينَ وَلَا تَتَفَرَّقُوا فِيهِ ۚ كَبُرَ عَلَى الْمُشْرِكِينَ مَا تَدْعُوهُمْ إِلَيْهِ ۚ اللَّهُ يَجْتَبِي إِلَيْهِ مَنْ يَشَاءُ وَيَهْدِي إِلَيْهِ مَنْ يُنِيبُ (الشعراء 13(
Yang artinya “Dia telah mensyari'atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. Amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada (agama)-Nya orang yang kembali (kepada-Nya).”  (QS. Asy-Syura; 13)
Oleh karena yang menurunkan syari’at samawi itu satu yaitu Allah swt. Maka syari’at tersebut pada dasarnya adalah satu, meskipun kemudian Allah swt. Telah mengharamkan beberapa hal kepada beberapa kaum seperti kepada Yahudi, diharamkan binatang-binatang yang berkuku. Sebagaimana dalam firman Allah SWT :
وَعَلَى الَّذِينَ هَادُوا حَرَّمْنَا كُلَّ ذِي ظُفُرٍ ۖ وَمِنَ الْبَقَرِ وَالْغَنَمِ حَرَّمْنَا عَلَيْهِمْ شُحُومَهُمَا إِلَّا مَا حَمَلَتْ ظُهُورُهُمَا أَوِ الْحَوَايَا أَوْ مَا اخْتَلَطَ بِعَظْمٍ ۚ ذَٰلِكَ جَزَيْنَاهُمْ بِبَغْيِهِمْ ۖ وَإِنَّا لَصَادِقُونَ (الأنعام 146(
Artinya : “Dan kepada orang-orang Yahudi, Kami haramkan segala binatang yang berkuku dan dari sapi dan domba, Kami haramkan atas mereka lemak dari kedua binatang itu, selain lemak yang melekat di punggung keduanya atau yang di perut besar dan usus atau yang bercampur dengan tulang. Demikianlah Kami hukum mereka disebabkan kedurhakaan mereka; dan sesungguhnya Kami adalah Maha Benar”. (QS. Al – An’am: 146)
Juga ditetapkan bahwa dosa tidak bisa dimaafkan kecuali dengan membunuh diri, dan pakaian yang kena najis tidak bisa jadi suci dengan dicuci, kecuali dengan dipotong kainnya. Selain itu juga bahwa bentuk dan cara-cara ibadah ( hubungan manusia dengan Allah swt. Berbeda dalam perinciannya meskipun intinya sama yaitu menyembah Allah swt.
Oleh karena itu terdapat penghapusan terhadap sebahagian hukum umat-umat yang sebelum kita (umat Islam) dengan datangnya syariat Islamiyah dan sebahagian lagi hukum-hukum umat yang terdahulu tetap berlaku.
4.      MACAM – MACAM SAR’U MAN QABLANA
Al-Quran dan Hadis juga mengisahkan hukum- hukum Syar’i yang disyari’atkan Allahkepada umat terdahulu sebelum kita. Ada hukum-hukum syar’i yang disampaikan kepada umat Nabi Muhammad SAW yang telah disampaikan juga kepada umat dahulu kala. Syariat-syariat terdahulu ada kalanya tidak berbeda dari apa yang disyariatkan kepada kita berupa peraturan-peraturan yang wajib kita ikuti. Mengenai syari’at terdahulu dalam hubungannya dengan syariat umat Muhammad SAW, syariat atau hukum yang berlaku dalam agama samawi yang diturunkan Allah SWT kepada para nabi sebelum Nabi Muhammad saw. sering pula diceritakan dalam Alqur‟an dan al Sunnah kepada umat Islam. Ceritra tersebut dibedakan dalam tiga bentuk yang masing-masingnya mempunyai konsekuensi yang berbeda bagi umat Islam:
a.       Disertai petunjuk tetap diakuinya dan lestarinya dalam syariat Islam.
Jika Al-Quran atupun hadis telah menerangkan tentang syariat umat terdahulu dan dijelaskan pula bahwa syariat itu telah dihapus, maka tidak boleh dijalankan. Apabila Alqur’an atau hadits shahih menerangkan suatu hukum yang disyari‟atkan oleh Allah swt kepada umat sebelum umat Islam (umat Muhammad saw), kemudian Al Qur’an atau al-Hadits menetapkan bahwa hukum tersebut diwajibkan pula kepada umat Islam sebagaimana diwajibkan kepada mereka, maka tidak diperselisihkan lagi hukum tersebut adalah syari’at bagi kita dan sebagai hukum yang harus kita ikuti.
b.      Disertai petunjuk tentang sudah dinasakhkannnya / dihapus dalam syariat Islam.
Demikian juga apabila Alqur’an dan al-Hadits shahih menerangkan suatu hukum yang disyari’atkan kepada umat terdahulu, kemudian datang dalil syara’ yang membatalkannya atau menasakh, maka telah disepakati oleh seluruh ulama, bahwa hukum itu bukanlah merupakan hukum syara’ bagi kita, karena ada dalil syara’ yang membatalkannya.
c.       Tidak disertai petunjuk tentang nasakh atau lestarinya.
Untuk ini ada dua pendapat :
Pertama, bila hukum yang diterangkan Allah dan Rasulnya bagi umat terdahulu, tidak ada nash yang menunjukan bahwa hal itu diwajibkan bagi kita sebagai mana diwajibkan juga bagi mereka, atau tidak ada nash bahwa hukum itu telah dihapuskan. Misalnya :
Dalam firman Allah SWT :
مِنْ أَجْلِ ذَٰلِكَ كَتَبْنَا عَلَىٰ بَنِي إِسْرَائِيلَ أَنَّهُ مَنْ قَتَلَ نَفْسًا بِغَيْرِ نَفْسٍ أَوْ فَسَادٍ فِي الْأَرْضِ فَكَأَنَّمَا قَتَلَ النَّاسَ جَمِيعًا وَمَنْ أَحْيَاهَا فَكَأَنَّمَا أَحْيَا النَّاسَ جَمِيعًا ۚ وَلَقَدْ جَاءَتْهُمْ رُسُلُنَا بِالْبَيِّنَاتِ ثُمَّ إِنَّ كَثِيرًا مِنْهُمْ بَعْدَ ذَٰلِكَ فِي الْأَرْضِ لَمُسْرِفُونَ    (المائدة 32)
Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa: barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan dimuka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. Dan sesungguhnya telah datang kepada mereka rasul-rasul Kami dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas, kemudian banyak diantara mereka sesudah itu sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat kerusakan dimuka bumi.” (QS. Al Maidah; 32)
Dan Firman Allah yang lainnya :
وَكَتَبْنَا عَلَيْهِمْ فِيهَا أَنَّ النَّفْسَ بِالنَّفْسِ وَالْعَيْنَ بِالْعَيْنِ وَالْأَنْفَ بِالْأَنْفِ وَالْأُذُنَ بِالْأُذُنِ وَالسِّنَّ بِالسِّنِّ وَالْجُرُوحَ قِصَاصٌ ۚ فَمَنْ تَصَدَّقَ بِهِ فَهُوَ كَفَّارَةٌ لَهُ ۚ وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ (المائدة 45)
Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka luka (pun) ada qishaashnya. Barangsiapa yang melepaskan (hak qishaash)nya, maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.” (QS. Al Maidah; 45)

Jumhur ulama yang terdiri atas ulama Hanafiyah, Malikiyah, sebagian ulama Syafi’iyah dan Imam Ahmad ibn Hambal menyatakan bahwa apabila hukum – hukum syariat sebelum Islam itu disampaikan kepada Rasulullah saw. melalui wahyu, yaitu Alqur‟an bukan melalui kitab agama mereka yang telah berubah, dan tidak ada nash yang menolak hukum-hukum itu, maka umat Islam terikat dengan hukum itu, alasan yang mereka kemukakan adalah:

1)      Syari’at sebelum syari’at Islam itu, juga syari’at yang diturunkan Allah swt. Dan tidak ada indikasi yang menunjukan pembatalan terhadap syariat tersebut, karenanya umat Islam terikat dengan syari’at itu. Ada ungkapan ulama ushul fiqih yang menyebutkan.
"Syariat umat sebelum kita, syari‟at kita juga sepanjang tidak ada yang membatalkan."
Golongan ini beralasan dengan firman Allah SWT :
أُولَٰئِكَ الَّذِينَ هَدَى اللَّهُ ۖ فَبِهُدَاهُمُ اقْتَدِهْ ۗ قُلْ لَا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا ۖ إِنْ هُوَ إِلَّا ذِكْرَىٰ لِلْعَالَمِينَ
Mereka itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah, maka ikutilah petunjuk mereka. Katakanlah: "Aku tidak meminta upah kepadamu dalam menyampaikan (Al-Quran)". Al-Quran itu tidak lain hanyalah peringatan untuk seluruh ummat.” (QS. Al An’am; 90)

شَرَعَ لَكُمْ مِنَ الدِّينِ مَا وَصَّىٰ بِهِ نُوحًا وَالَّذِي أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ وَمَا وَصَّيْنَا بِهِ إِبْرَاهِيمَ وَمُوسَىٰ وَعِيسَىٰ ۖ أَنْ أَقِيمُوا الدِّينَ وَلَا تَتَفَرَّقُوا فِيهِ ۚ كَبُرَ عَلَى الْمُشْرِكِينَ مَا تَدْعُوهُمْ إِلَيْهِ ۚ اللَّهُ يَجْتَبِي إِلَيْهِ مَنْ يَشَاءُ وَيَهْدِي إِلَيْهِ مَنْ يُنِيبُ
Dia telah mensyari'atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. Amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada (agama)-Nya orang yang kembali (kepada-Nya).” (QS. Asy Syura: 13)

2)      Dan mereka juga beralasan dengan sabda Rasulullah saw.
من نام عن صلاةاونسيها فليصلها إذا ذكر هاقرأ قوله تعالى "وأقم الصلاة لذكري. رواه البخارى,مسلم

Kedua, menurut ulama Asy’ariyah, Mu’tazilah, Syi’ah dan sebagian ulama syafi’iyah, menyatakan bahwa syari’at sebelum Islam tidak menjadi syari’at bagi Rasulullah SAW. dan umatnya. Mereka beralasan:

“Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, kami berikan aturan dan jalan yang terang”
Dan alasan golongan ini juga berdasarkan hadits Nabi saw.:
كَانَ النَّبِيُّ يُبْعَثُ إِلَى قَوْمِهِ خَاصَّةً وَبُعِثْتُ إِلَى النَّاسِ عَامَّةً. رواه البخارى
Nabi dahulu diutus khusus kepada kaumnya dan aku diutus untuk semua manusia )HR. Bukhori).

Dengan perbedaan pendapat di atas, maka ada hal yang disepakati ulama:

1)      Hukum-hukum syara yang ditetapkan bagi umat sebelum kita, tidaklah dianggap ada tanpa melalui sumber-sumber hukum Islam, karena dikalangan umat Islam nilai sesuatu hukum didasarkan kepada sumber-sumber hukum Islam.
2)      Segala sesuatu hukum yang dihapuskan dengan syariat Islam, otomatis hukum tersebut tidak bisa berlaku lagi bagi kita. Demikian juga hukum-hukum yang dikhususkan bagi umat tertentu, tidak berlaku bagi umat Islam, seperti keharaman beberapa makanan, misalnya daging bagi Bani Israil.
3)      Segala yang ditetapkan dengan nash yang dihargai oleh Islam seperti juga ditetapkan oleh agama samawi yang telah lalu, tetap berlaku bagi umat Islam.

karena ketetapan nash Islam itu tadi bukan karena ditetapkannya bagi umat yang telah lalu. Sedangkan Muhammad Abu Zahrah menyatakan, apabila syariat sebelum Islam itu dinyatakan dengan dalil khusus bahwa hukum-hukum itu khusus bagi mereka, maka tidak wajib bagi umat Islam untuk mengikutinya. Namun apabila hukum-hukum itu bersipat umum, maka hukumnya juga berlaku umum bagi seluruh umat, seperti puasa yang ada dalam Alqur‟an.
























PENUTUP
A.    Kesimpulan
Syar’u Man Qablana adalah syari’at atau ajaran-ajaran nabi-nabi sebelum islam yang berhubungan dengan hukum, seperti syari’at Nabi Ibrahim, Nabi Musa, Nabi Isa as. Syar’u Man Qablana dibagi menjadi dua bagian. Pertama, setiap hukum syariat dari umat terdahulu namun tidak disebutkan dalam Al-quran dan Sunnah. Kedua, setiap hukum syariat dari umat terdahulu namun disebutkan dalam Al-quran dan Sunnah.
Syar’u man qablana terbagi tiga :
1.      Disertai petunjuk tetap diakuinya dan lestarinya dalam syariat Islam.
2.      Disertai petunjuk tentang sudah dinasakhkannnya / dihapus dalam syariat Islam.
3.      Tidak disertai petunjuk tentang nasakh atau lestarinya.





















DAFTAR PUSTAKA

Efendi, Satria, ushul fiqh, Jakarta: Kencana Prenada Media Groub, 2009
Suhartini, Andewi, ushul Fiqih, Jakarta ; Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Departemen Agama republic Indonesia, 2009.
Khalaf, Abdul Wahab, Ilmu Ushul Fikih, Jakarta, Rineka Cipta, 1995













Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

- Copyright © SLAMET - Blogger Templates - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -