Posted by : Slamet
Senin, 28 Agustus 2017
Ustadz Hanan Attaki memiliki jawaban menarik untuk orang yang merasa dirinya kurang bernasib baik dibandingkan orang-orang yang tidak beriman. Padahal dirinya sudah beriman dan rajin ibadah.
Kadang ada orang yang mempertanyakan, “Saya sudah rajin sholat, mengapa dagangan saya nggak laris-laris padahal teman saya yang sholatnya hanya hari Jumat dagangannya laris sekali?”
“Mengapa saya yang sudah hijrah meninggalkan pekerjaan syubhat anak-anak saya sering sakit sedangkan tetangga saya yang sering berjudi anaknya selalu sehat?”
“Saya sudah rajin sedekah dan banyak membaca Al Quran belum dapat jodoh sedangkan teman saya yang banyak bermaksiat justru langsung dapat jodoh setelah wisuda?”
Dan pertanyaan-pertanyaan serupa, dengan nada dan rasa bahwa ia kerap dirundung masalah padahal sudah rajin ibadah.
“Jawabannya sederha,” terang Ustadz Hanan Attaki. “Karena kita membandingkan nasib orang beriman dengan nasib orang yang tidak beriman sama-sama menggunakan dunia. Padahal Allah tidak banyak berjanji urusan dunia terhadap orang-orang beriman.”
“Kalau mau ngebandingin, bandingkanlah orang beriman itu dengan akhirat dan orang tidak beriman engan dunia. Dia dapat apa di dunia, kita dapat apa di akhirat. Itu baru imbang perbandingannya. Kalau membandingkan ia dapat apa di dunia, kita dapat apa di dunia, itu perbandingan yang tidak matematis menurut Islam. Nggak logis menurut iman. Baru logis kalau misalnya kalau kita ngebandingin, ia riba dapat aset sekian, saya nggak riba dapat apa nanti di akhirat. Itu baru logis menurut iman.”
***
Pada suatu hari, Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu menghadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di rumah beliau. Rumah itu sangat sederhana dan lebih tepat disebut bilik kecil di sisi Masjid Nabawi.
Umar melihat ada bekas gurat-gurat tikar pada tubuh Rasulullah. Beliau memang biasa tidur di tikar yang kasar. Umar pun menangis melihat kondisi beliau.
“Mengapa kamu menangis, ya Umar?” tanya Rasulullah.
“Bagaimana saya tidak menangis ya Rasulullah, Kisra (Raja Persia) dan Kaisar (Romawi) duduk di atas singgasana bertatakan emas, sementara tikar ini telah menimbulkan bekas di tubuhmu. Padahal engkau adalah kekasih-Nya,” jawab Umar.
“Mereka adalah kaum yang kesenangannya telah disegerakan sekarang juga, dan tak lama lagi akan sirna, tidakkah engkau rela mereka memiliki dunia sementara kita memiliki akhirat? Kita adalah kaum yang menangguhkan kesenangan kita untuk hari akhir. Perumpamaan hubunganku dengan dunia seperti orang bepergian di bawah terik panas. Berlindung sejenak di bawah pohon, kemudian pergi meninggalkannya.”
Umar disadarkan dengan jawaban yang sarat makna itu. Kelak, ketika menjadi amirul mukminin, Umar menjadi pemimpin yang sangat sederhana meneladani beliau. Tidur di bawah pohon, sering lapar, dan pakaiannya sama dengan pakaian pembantunya sehingga ketika menaklukkan Baitul Maqdis, ada orang yang salah mengira pembantunya sebagai amirul mukminin. [Ibnu K/Tarbiyah.net]