Posted by : Slamet
Rabu, 10 Agustus 2016
Dalam pendidikan Islam, tidak dikenal fase remaja; fase yang dianggap sebagai masa transisi sehingga usia belasan tahun ditolelir jika “nakal” dan “melanggar aturan” karena dianggap belum labil.
Fase remaja, awalnya dikenalkan oleh Barat. Lalu Indonesia yang yang terpengaruh westernisasi pun ikut-ikutan menggunakannya. Namun, kini Barat mulai meninggalkan fase itu. Bagaimana Indonesia?
Berikut ini tulisan lengkap Ustadz Satria Hadi Lubis mengupasnya:
Makin banyaknya remaja yang terjerumus perbuatan zina, kriminal, dan perilaku kurang ajar terhadap guru serta orang tua membuat kita semua prihatin. Adakah yang salah dalam cara kita mendidik remaja? Mengapa banyak remaja Indonesia yang terlambat untuk dewasa? Sehingga sikapnya tidak bertanggung jawab dan kurang mandiri?
Semua ini berawal dari kesalahan paradigma bahwa ada fase remaja dalam kehidupan setiap orang. Padahal sebenarnya tidak ada fase itu. Itu hanya akal-akalan atas nama ilmu (psikologi) yang diciptakan para penjajah agar pemuda di negara jajahannya lambat dewasa. Tetap membeo dan tidak kritis.
Padahal fitrahnya tidak ada fase remaja itu. Fase yang mentolerir adanya kegalauan dan pubertas, sehingga lingkungan harus maklum jika remaja berbuat salah. Tidak boleh dihukum dan diberikan sanksi sosial.
Kalau dalam pendidikan Islam, tidak ada itu fase remaja. Yang ada hanya fase anak, pemuda dan dewasa. Fase anak dimulai semenjak lahir sampai akil baligh. Fase pemuda dimulai dari aqil baligh (haid/mimpi basah pertama kali, kisaran usia 12-15 tahun) sampai usia 25 tahun. Dan dewasa di usia 25 tahun ke atas. Pada fase pemuda, setiap orang sudah dituntut untuk bersikap dewasa. Juga boleh menikah dan mencari nafkah sebagai ciri kedewasaan seseorang.
Pendidikan "modern" di Indonesia yang terpengaruh westernisasi lalu memasukkan fase remaja sebagai fase transisi. Di mana sang remaja boleh labil dan belum dianggap cukup akalnya. Masih perlu dilindungi oleh undang-undang (perlindungan anak), sehingga jika sang remaja bermaksiat atau melakukan tindakan kriminal belum boleh dihukum atas nama HAM yang keblinger.
Hasil dari pendidikan dan budaya yang mentolerir fase remaja ini akhirnya memunculkan banyak remaja yang cengeng, manja, egois, cuek, dan kurang ajar (tidak tahu sopan santun). Kasus pemukulan guru di Makasar dan tempat-tempat lain membuktikan bahwa remaja Indonesia tumbuh kurang dewasa. Mereka lambat dewasa karena ditolerir oleh orang tua dan budaya; mereka masih anak-anak yang masih perlu dilindungi.
Bandingkan dengan generasi terbaik Islam yang sudah tumbuh dewasa di usia sangat dini. Ali bin Abu Thalib ra masuk Islam usia 9 tahun. Mus'ab bin Umair ra sudah jadi dai antar kota di usia 17 tahun. Imam Syafi'i sudah hapal Qur'an di usia 9 tahun. Muhammad al Fatih memimpin penyerbuan 200.000 tentara ke Konstatinopel di usia 21 tahun. Dan masih banyak lagi contoh generasi terbaik yang dididik tanpa mengenal fase remaja, sehingga mereka menjadi dewasa sejak dini.
Diam-diam, negara maju pun juga sudah mengkoreksi cara mereka mendidik remaja. Kurikulum pendidikan mereka sudah bergeser meniru pendidikan (Islami) yang tidak mengenal fase remaja. Pendidikan vokasi sudah diajarkan sejak SMP di Jepang. Sekolah di Inggris lebih banyak menekankan manner (soft competency). Di Korsel, pendidikan menekankan sikap kesatria dan kejujuran. Di Finlandia, jam sekolah dibatasi dan tidak ada PR agar anak lebih banyak terjun dalam kehidupan nyata.
Sedang Indonesia yang masyarakatnya masih kesengsem dengan apa saja yang datang dari Barat malah ketinggalan jaman. Teori pendidikan yang dipakai oleh banyak pendidik malah mazhab yang memanjakan remaja. Melindungi anak dari kesalahan yang dilakukan remaja atas nama HAM anak. Yang justru sudah disadari kekeliruannya oleh para pendidik yang kritis di Barat sana.
Sudah saatnya, orang tua dan guru di Indonesia kembali kepada pendidikan yang lebih Islami. Lebih berani mendidik kemandirian kepada anak didik yang sudah akil baligh. Jangan memanjakan remaja. Jangan memaklumi remaja yang kurang ajar dan tidak disiplin. Jangan takut memberikan pendidikan dengan punishment yang tegas (walau reward juga tetap diberikan).
Jangan terpengaruh oleh doktrin pendidikan ramah anak (remaja) yang tidak boleh menghukum remaja usia aqil baligh. Selain tidak Islami, juga tidak mendidik adversity quotient anak remaja. Jangan melindungi anak remaja dari "bully" teman-temannya atau media sosial selama itu masih wajar, agar mentalnya kuat berlapis baja. Jangan takut jiwa anak remaja akan terluka jika mereka diberikan sanksi sosial karena perbuatan salah mereka. Pendek kata, jangan terpengaruh dengan teori pendidikan sok modern yang berlindung atas nama HAM, demokrasi atau nama nyeleneh lainnya, tapi ujungnya hanya memanjakan anak dan remaja. Membuat anak dan remaja menjadi cengeng, pengecut dan labil serta tidak bisa menyelesaikan masalahnya sendiri.
Setiap remaja seharusnya sudah menjadi pemuda dengann karakter dewasa setelah akil baligh. Itulah sebabnya mereka diberikan dosa jika salah dan pahala jika benar oleh Allah swt, sebagai tanda mereka harus sudah mandiri dan bertanggung jawab. []
Fase remaja, awalnya dikenalkan oleh Barat. Lalu Indonesia yang yang terpengaruh westernisasi pun ikut-ikutan menggunakannya. Namun, kini Barat mulai meninggalkan fase itu. Bagaimana Indonesia?
Berikut ini tulisan lengkap Ustadz Satria Hadi Lubis mengupasnya:
Hilangkan Fase Remaja
Makin banyaknya remaja yang terjerumus perbuatan zina, kriminal, dan perilaku kurang ajar terhadap guru serta orang tua membuat kita semua prihatin. Adakah yang salah dalam cara kita mendidik remaja? Mengapa banyak remaja Indonesia yang terlambat untuk dewasa? Sehingga sikapnya tidak bertanggung jawab dan kurang mandiri?
Semua ini berawal dari kesalahan paradigma bahwa ada fase remaja dalam kehidupan setiap orang. Padahal sebenarnya tidak ada fase itu. Itu hanya akal-akalan atas nama ilmu (psikologi) yang diciptakan para penjajah agar pemuda di negara jajahannya lambat dewasa. Tetap membeo dan tidak kritis.
Padahal fitrahnya tidak ada fase remaja itu. Fase yang mentolerir adanya kegalauan dan pubertas, sehingga lingkungan harus maklum jika remaja berbuat salah. Tidak boleh dihukum dan diberikan sanksi sosial.
Kalau dalam pendidikan Islam, tidak ada itu fase remaja. Yang ada hanya fase anak, pemuda dan dewasa. Fase anak dimulai semenjak lahir sampai akil baligh. Fase pemuda dimulai dari aqil baligh (haid/mimpi basah pertama kali, kisaran usia 12-15 tahun) sampai usia 25 tahun. Dan dewasa di usia 25 tahun ke atas. Pada fase pemuda, setiap orang sudah dituntut untuk bersikap dewasa. Juga boleh menikah dan mencari nafkah sebagai ciri kedewasaan seseorang.
Pendidikan "modern" di Indonesia yang terpengaruh westernisasi lalu memasukkan fase remaja sebagai fase transisi. Di mana sang remaja boleh labil dan belum dianggap cukup akalnya. Masih perlu dilindungi oleh undang-undang (perlindungan anak), sehingga jika sang remaja bermaksiat atau melakukan tindakan kriminal belum boleh dihukum atas nama HAM yang keblinger.
Hasil dari pendidikan dan budaya yang mentolerir fase remaja ini akhirnya memunculkan banyak remaja yang cengeng, manja, egois, cuek, dan kurang ajar (tidak tahu sopan santun). Kasus pemukulan guru di Makasar dan tempat-tempat lain membuktikan bahwa remaja Indonesia tumbuh kurang dewasa. Mereka lambat dewasa karena ditolerir oleh orang tua dan budaya; mereka masih anak-anak yang masih perlu dilindungi.
Bandingkan dengan generasi terbaik Islam yang sudah tumbuh dewasa di usia sangat dini. Ali bin Abu Thalib ra masuk Islam usia 9 tahun. Mus'ab bin Umair ra sudah jadi dai antar kota di usia 17 tahun. Imam Syafi'i sudah hapal Qur'an di usia 9 tahun. Muhammad al Fatih memimpin penyerbuan 200.000 tentara ke Konstatinopel di usia 21 tahun. Dan masih banyak lagi contoh generasi terbaik yang dididik tanpa mengenal fase remaja, sehingga mereka menjadi dewasa sejak dini.
Diam-diam, negara maju pun juga sudah mengkoreksi cara mereka mendidik remaja. Kurikulum pendidikan mereka sudah bergeser meniru pendidikan (Islami) yang tidak mengenal fase remaja. Pendidikan vokasi sudah diajarkan sejak SMP di Jepang. Sekolah di Inggris lebih banyak menekankan manner (soft competency). Di Korsel, pendidikan menekankan sikap kesatria dan kejujuran. Di Finlandia, jam sekolah dibatasi dan tidak ada PR agar anak lebih banyak terjun dalam kehidupan nyata.
Sedang Indonesia yang masyarakatnya masih kesengsem dengan apa saja yang datang dari Barat malah ketinggalan jaman. Teori pendidikan yang dipakai oleh banyak pendidik malah mazhab yang memanjakan remaja. Melindungi anak dari kesalahan yang dilakukan remaja atas nama HAM anak. Yang justru sudah disadari kekeliruannya oleh para pendidik yang kritis di Barat sana.
Sudah saatnya, orang tua dan guru di Indonesia kembali kepada pendidikan yang lebih Islami. Lebih berani mendidik kemandirian kepada anak didik yang sudah akil baligh. Jangan memanjakan remaja. Jangan memaklumi remaja yang kurang ajar dan tidak disiplin. Jangan takut memberikan pendidikan dengan punishment yang tegas (walau reward juga tetap diberikan).
Jangan terpengaruh oleh doktrin pendidikan ramah anak (remaja) yang tidak boleh menghukum remaja usia aqil baligh. Selain tidak Islami, juga tidak mendidik adversity quotient anak remaja. Jangan melindungi anak remaja dari "bully" teman-temannya atau media sosial selama itu masih wajar, agar mentalnya kuat berlapis baja. Jangan takut jiwa anak remaja akan terluka jika mereka diberikan sanksi sosial karena perbuatan salah mereka. Pendek kata, jangan terpengaruh dengan teori pendidikan sok modern yang berlindung atas nama HAM, demokrasi atau nama nyeleneh lainnya, tapi ujungnya hanya memanjakan anak dan remaja. Membuat anak dan remaja menjadi cengeng, pengecut dan labil serta tidak bisa menyelesaikan masalahnya sendiri.
Setiap remaja seharusnya sudah menjadi pemuda dengann karakter dewasa setelah akil baligh. Itulah sebabnya mereka diberikan dosa jika salah dan pahala jika benar oleh Allah swt, sebagai tanda mereka harus sudah mandiri dan bertanggung jawab. []