Posted by : Slamet
Selasa, 07 Juni 2016
Tanda hitam di jidat (Tarbiyah.net) |
Hal itu didasarkan pada firman Allah dalam surat Al Fath ayat 29:
مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ تَرَاهُمْ رُكَّعًا سُجَّدًا يَبْتَغُونَ فَضْلًا مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانًا سِيمَاهُمْ فِي وُجُوهِهِمْ مِنْ أَثَرِ السُّجُودِ
"Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. Kamu lihat mereka ruku' dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud…" (QS. Al Fath: 29)
Siimaahum fii wujuuhihim min atsaris sujuud (tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud). Inilah yang melatari pemahaman bahwa tanda hitam di jidat itu merupakan bekas sujud.
Hal ini tidak sepenuhnya salah karena bisa jadi seseorang banyak sujud (shalat) kemudian tanpa sengaja jidatnya menghitam. Namun, penafsiran para ahli tafsir dari kalangan sahabat Nabi dan tabi’in bukan begitu.
Ibnu Abbas mengatakan maksud tanda-tanda itu adalah tanda baik yang ada pada wajah mereka. Mujahid dan mufassir lainnya menjelaskan atsaris sujud itu ialah khusyu’ dan tawadhu’.
As Saddi mengatakan bahwa shalat menjadikan wajah seseorang menjadi lebih indah. Lebih jauh Ibnu Katsir menuturkan bahwa sebagian ulama salaf mengatakan bahwa “siapa yang banyak shalat di malam harinya maka wajahnya kelihatan indah di siang harinya.”
Umar bin Khattab dan Utsman bin Affan juga mengatakan hal senada.
“Siapa yang memperbaiki hatinya, maka Allah akan memperbaiki penampilan lahiriahnya,” kata Umar.
“Sesuatu yang terpendam dalam jiwa akan terpancar melalui roman muka,” kata Ustman.
Sayyid Qutub dalam tafsir Fi Zhilalil Quran menegaskan bahwa “min atsaris sujud” bukanlah tanda hitam di jidat sebagaimana banyak dipahami.
“Siimaahum fii wujuuhihim min atsaris sujuud (tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud). Tanda yang tampak pada wajah mereka adalah keelokan, cahaya, kecerahan dan keramahan,” kata Sayyid Qutub. “Dari sumbu ibadah teranglah kehidupan, keelokan dan kelembutan. Tanda ini bukanlah berupa tanda hitam di jidat sebagaimana yang segera dipahami saat mendengar firman Allah min atsaris sujud. Yang dimaksud atsaris sujud adalah dampak dari ibadah.”
Karena tidak ada tafsir yang menjelaskan bahwa atsaris sujud maknanya tanda hitam di jidat, para ulama pun mengingatkan agar berhati-hati. Sebab hal itu bisa menimbulkan riya’.
Ketika Ibnu Umar bertemu dengan seseorang yang memiliki tanda hitam di dahi, ia pun mengingakan. “Bekas apa yang ada di dahimu? Sungguh aku telah lama bersahabat dengan Rasulullah, Abu Bakar, Umar dan Utsman. Apakah kau lihat ada bekas tersebut pada dahiku?”
Abu Darda juga demikian. Saat bertemu dengan orang yang memiliki tanda hitam di dahi, ia mengingatkan. “Seandainya bekas itu tidak ada pada dirimu tentu lebih baik.”
Selain bisa menimbulkan riya, tanda hitam di jidat juga bisa membuat orang salah sangka. Mengira seseorang sangat shalih padahal bisa saja hatinya sangat keras.
“Bisa saja tanda hitam di dahi itu ada pada seseorang, padahal hatinya lebih keras dari Fir’aun,” tandas Mujahid. [Muchlisin BK/Tarbiyah.net]